Selamat Datang di Kawasan Penyair Tabalong Terima Kasih Kunjungan Anda

Sabtu, 28 Juni 2008

A.Tajuddin


Panggilan kentalnya Bacco, sebenarnya nama aslinya adalah Drs A.Tajuddin,M.Si ia kelahiran Hayup Haruai , 13 Agustus 1958. Banyak hal yang telah ditulisnya mulai dari artikel politik, sosial, karangan ilmiah bahkan sudah empat judul buku ia buat dan diantaranya karya terakhirnya adalah Buku Antologi puisi Silir Pulau Dewata selain yang terdahulu Jembatan, Nawu Raha dan yang terbit sekarang ini bersama para penyair pahuluan berjudul Ronce Bunga-Bunga Mekar. Selain itu ia sekarang menjabat sebagai Kabid Telematika Dinas Perhubungan Kabupaten Tabalong, jga sebagai Pemred Majalah Media Bersinar yang terbitnya sudah 21 Nomor sejak tahun 2002, dengan tiras sejumlah 8000 eksemplar pertahuan, tercatat di LIPI Jakarta dengan ISSN 1693-1343 juga tercatat sebagai anggota PWI Kalsel.

Hobbynya, menulis puisi, cerpen, dan kini mempersiapkan novel fiksinya dalam bahasa Banjar berjudul : Kaminting Pidakan, yang dimuat Majalah Media bersinar secara bersambung.

Begitulah manusia yang tiada henti berkarya ini, memiliki motto “ sekali berarti sesudah itu mati”, yang menjadi salah satu bait sajaknya almarhum Khairil Anwar, telah memacu dirinya berpoduksi terus menerus, semuanya untuk mencapai sasaran dan target pekerjaan. Namun mutu tetap diutamakan.


SIBUTA



Berjalan dalam gelap

Gampang terantuk

Ketika malam tak siang

Ketika siang tak malam

Bergelut didirinya sendiri

Langit terus ada

Awanpun berarak

Menyanyi dan mengaji

Menjual suaranya

Siapa perduli ketika tongkatnya dimakan rayap

Pergi sendiri kealam baka

Sungguh Tuhan menjadikannya

Tidak sia-sia

Pasti punya makna

Tanjung, 7 januari 2005


PENGADUAN


yang sempit

Hujan yang deras

Air menguras kehidupan

Mengalir air, air mata

Karena korban yang terjadi terenggut tiada arti

Kesadaran yang belum pupus

Bencana kembali dari situ kesitu lagi

Telah kehilangan hati nurani

Orang kaya menangguk dari kemiskinan

Alangkah tidak adilnya ini

Nestapa datang dari mereka yang berkecukupan

Hidup si Kaya di atas penderitaan orang yang malang

Kepada siapa aku mengadu

Ketika jejeran jenazah terkubur

Kubangan lumpur dan kepongahan perilaku

Lagu duka setiap tahun meronta

Kembali dalam wajah kesedihan dan penderitaan

Lagunya sendu dan sedu sedan

Karena lampu iman hampir padam

Jangan sirnakan cahayaMu Rabbku

Biarpun tulus kami terima pelajaran cintaMU

Nafas manusia tetap ada

Mendengar dan meresapi isi setiap tikaman titahMU

Hendaknya merubah zalim dunia

Kepada kehendak perintahMU

Diam dalam seribu basa

Kami hanya dapat menanti

Apa gerangan akan terjadi lagi


Tanjung, 9 Januari 2005

Fitriyani


Lahir di Banjarmasin, 24 April 1977. Menyelesaikan pendidikan
pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di FKIP UNLAM Banjarmasin (lulus tahun 1999). Sekarang berstatus sebagai guru di SMAN 1 Muara Uya, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Menulis puisi dan cerpen sejak di Sekolah Menengah Pertama dan antara lain dipublikasikan di Mentari, Buletin Sekolah “Ekspresi”, dan Radar Banjarmasin. Semasa kuliah aktif di Teater HIMASINDO dan Sanggar Ian Emti. Sekarang lebih gigih menggerakkan dan memberikan pembinaan pada Sanggar Seni “Zikir” SMAN 1 Muara Uya. Beberapa puisinya pernah menghiasi Antologi Puisi Kau tidak akan pernah tahu rahasia sedih tak bersebab, sebagai antologi sastra pemenang lomba penulisan puisi dan cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan III tahun 2006 (Kotabaru).


Perempuan Para


Sebelum subuh datang menyapa

Kau buka kelopak mata

Meski tangan menggayut dada

gigil memeluk raga

nyeri tetek masih tersisa

Kau kekeh tuk beranjak

salut

Sebelum bilal lantun suara

Panggil kelana bernapas fana

Yang terlena dalam buaian

Kau tanak nasi penghimpun raga

Kau goreng ikan sisa yang hampir basi

Menghias meja membuka pagi

takjub

Sebelum melihat tatap senyum suamimu

makin memudar bara lunglai terkulai sansai

Sebelum tangis kecil gema menyayat

Kau berpijak tanah membuat segunduk harap

Sepeda butut terkayuh di jalan sarat liku

Meski kabut enggan berpulang ke peraduan

Kaki-kaki embun berpijak pelan

Kau berputar dengan perlahan

Dari para ke para yang lain

Menoreh harap sepekan dinikmat hitungan hari

bangga

Perempuan para

Sebegitu kisahmu senyum tetap sumringah

Sebegitu nasibmu cinta takkan berpindah

kesetiaanmu

kesabaranmu

ketegaranmu

decak bersimbah

Perempuan para

Di dadaku menumpuk ragu

Ku tak yakin bisa sepertimu


Murung Pudak, 10 Mei 2006

Agna Dinnah Lantria




Agna, itulah panggilan yang sangat akrab bagi mahasiswi Fakultas Kedokteran Hewan UGM SM V ini. Dilahirkan di Kandangan HSS 17 Agustus 1985 adalah putri pasangan Drs A.Tajuddin, M.Si dan Maskanah S.Pd. Aktivitas yang menjadi kegemarannya adalah belajar bahasa asing disamping menulis karya puisi dan essay kehewanan. Pada saat tertentu ia mendalami bahasa Jepang dan Inggeris. Cita-citanya ingin meneruskan pendidikan sampai ke luar negeri.

Karena itu ia sangat getol dalam menulis. Pada saat di SLTP ia pernah meraih juara dua dan juara tiga berturut-turut pada tahun 1996-1997 dalam lomba penulisan puisi tingkat SLTP se Propinsi Kalimantan Selatan. Berbagai piala telah ia raih dan tentu saja insentifnya, dong agak lumayan.

Mahasiswi ini kini tinggal di Jogjakarta dan bersama keluarganya di Tabalong mencoba meraih bintang-bintang dengan berbagai upaya meningkatkan SDMnya. Meraih prestasi itulah yang menjadi mottonya.


Landskap Kehidupan yang terbuang


Bulan yang tersenyum di balik langit malam

Tertutup awan yang berarak

Menyiratkan rasa rindu hati

Pada tatapan sang mentari

Di sudut gang yang sempit

Saat dunia sedang terlelap

Apakah kau dengar?

Jerit kecil dari bibir mungil

Saat tidur mimpi yang setengah setengah datang

Buah dari lelahnya tubuh

Diterpa panasnya matahari siang tadi

Esok hari seperti sebelumnya

Tatapan kosong dan nanar

Mengisi sudut-sudut kota

Mengais kehidupan di sisi-sisi gelap yang tersembunyi

Kendaraan yang melintas

Menghamburkan debu-debu

Asap tebal knalpot menutupi jalan-jalan kota

Menyembunyikan kenyataan pahit

Derita yang seakan tak pernah berakhir

Kehidupan yang getir, begitu kejamnya waktu menggilas hari-hari

Sendiri, menatap dengan galau

Pada sang awan di atas sana

Saat angin berhembus menerpa tubuh

Kegelisahan jiwa, terbanglah tinggi

Sampaikan rasaku ke hadiratNya

Berikan saat-saat yang terindah

Walau hanya di ujung nyawa


Bunga


Hari itu, kenangan indah bagiku

Kita bersama jalani kisah, kadang sulit tapi bahagia

Tertawa bersama, jelajahi waktu

Bunga-bunga itu mulai tumbuh

Menyiratkan cinta, terus tumbuh di hati ini

Waktu terus berlalu

Ku seharusnya berusaha menikmatinya

Namun semua tak ada lagi

Kau pergi memilih jalanmu

Takdirmu yang lain, tak bersamaku

Malam itu saat bulan bersinar terang

Diselingi awan hitam

Angin yang berhembus menusuk hatiku

Saat kau ucapkan selamat tinggal

Kesedihan menyiksaku

Tak lagi denganmu, terus bayangi fikirku

Kutitipkan harap pada seorang sahabat

Membawa kebahagiaan walau sesaat

Tak sempat ku lupakan semua

Kau tolak semua tawaran yang dia tawarkan

Kesedihan pun kembali slimuti hatiku

Tapi ku tahu tak bisa terus begini

Ku kan jemput kembali cinta itu

Meski ku tak tahu engkau di mana

Ku kan temukanmu

Hati saling memanggil

Jiwa saling mencari

Dalam waktu yang terus berjalan

Ku kan temukanmu.

Siti Juarida



Gadis ini sering dipanggil Ida dalam pergaulannya dimasyarakat. Wanita kelahiran Tanjung Tabalong, 29 Agustus 1974. Anak kedua dari dua bersaudara terlahir dari pasangan Juhri dan Nurpatiah. Ia berasal dari keluarga PNS lingkup Pemerintah Kabupaten Tabalong namun memiliki hobby sastra terutama puisi. Karya-karyanya pernah dimuat di Antologi jembatan para penyair tiga kota, Kandangan, Tabalong dan Kotabaru yang diterbitkan oleh PT Adi Cita Karya Nusa Jogjakarta tahun 2000.

Kali ini ia menulis karyanya yang sering bernuansa imaginatif dan penuh pesan remaja. Ya, itu karena penyairnya masih lajang, sehingga banyak pengalamannya di dunia remaja.

SUATU MALAM


Lenggang langkah

Beanjak

Menapaki malam

Pelan-pelan

Dan tiba-tiba saja

Langkah itu terhenti

Dikesunyian malam

Yang dingin

Nyala lampu kian redup

Lalu padam

Roda msin itu diam

Tak bergeming

Sei Loban………

Saksi bidu kekhawatiran

Betapa lengang, sunyi, gelap

Dikiri laut, di kanan padang ilalang

Kantung kemihpun penuh berisi

Hanya bunyi jengkrik yang kudengar

Ketika mataku terasa berat menahan kantuk

Percakapan di warungpun kian hambar

Lalu lenyap….

Mendengkur dibuai mimpi

Tapi kenapa

Mataku tak bisa pejam

Dan kidung malam

Masih terus bernyanyi

Menertawakanku

Sendiri

Menanti pagi

Sei Loban ,Tanah Bumbu, 24 April 2005




SEMALAM DI INNA SIMPANG



Mendung menyapa

Saat ku tiba di Bandara

Berbekal tentengan tas

Bergayut di lengan

Mendung tersenyum

Mengantarku dalam rinai

Menuju simpang

Gubernur Suryo

Surabaya .. Surabaya.

Oh…Surabaya.

Senandung riang

Dari mulut Yanesha

Merdu terasa

Sejuk di dada

Sesuci kata; dan gema doa

Di remang malam

Dari balik jendela

Kutatap langit yang kelam

Setentram hatiku

Dalam dekap kurnia

Ternyata waktu itu

Memang buat kita

Damai itu untuk kita

Sadarkan beban bathin

Sejenak di eternet kamar

Kulihat sebentuk wajah damai

Penghantar lelap tidurku

Inna Simpang……….

Pagi ini telah kutemukan lagi

Mutiaraku yang dulu hilang

Surabaya, 20 Desember 2005

Kamila

Mila, nama akrab yang sering dipanggil kepada Nyonya muda ini. Kelahiran Tanjung, 7 Juli 1975, memiliki banyak kreasi dalam menulis. Ia menulis puisi sejak menjadi siswi di SMAN 2 Tanjung, karya-karyanya masuk dalam antologi Potret diri dan Jembatan antologi puisi dan cerpen. Sekarang Ibu ini tetapi senang menulis puisinya, tidak bosan-bosannya meski sudah punya anak balita. Alamat rumahnya ada di jalan Tanjung Selatan RT 07 No.112 Kecamatan Murung Pudak Kabupaten Tabalong, kode pos 71571.

Kerjanya sebagai karyawan Tata Usaha (TU) SMAN 2 Tanjung, bersama rekan-rekannya tidak lupa menulis puisinya. Suaminya Budi Harto selalu mendorongnya untuk berproduksi dalam kehidupannya. Sehingga karya-karyanya dapat dibukukan.

FATAMORGANA

Di malam awal tahun

Kumernenung dan bertanya dalam hati

Apa yang mereka cari

Disudut desa dipinggiran kota

Sayup terdengar tasbih tahmid dan zikir

Dari mulut orang-orang beriman

Sedang disini kala kakiku berpijak

Sungguh suatu pemandangan nyata

Dalam kehidupan ini

Mereka berpesta pora mabuk dan ……….

Na uzubillah min zalik, Allahu Akbar

Begitu rendah moral dan akhlak

Anak muda sekarang

Jangan salahkan alam bila tak bersahabat

Ini karena ulah anak-anak manusia

Yang tak bermoral dan tak berakhlak

Ya, allah engkau yang menancapkan

Gunung-gunung dan poho-pohon sebagai

Tiang dan pakunya dunia

Langit kau jadikan sebagai atap

Dan bumi sebagai lantainya

Jika engkau murka ya…Allah

Engkau cabut dan kau tumbangkan

Isinya .maka kehancuranlah yang terjadi

Ya Allah kenapa mereka tak menyadari

Kenapa mereka terlena dalam kemaksiatan

Ya…..Allah bukalah pintu hati mereka

Sebelum pintu taubatmu kau tutup

Amien

Tanjung, 5 Januari 2006

KEHARUAN ALAM

Akhir tahun selalu berulang musibah

Hujan lebat menimpa Jawa timur, dan Jember

Berhektar sawah tergenang dalam

Banjir Lumpur

Rumah-rumah hancur terendam

114 orang tenggelam dan hilang

tak karuan nasibnya

berita di media massa mengalamatkan

pertanda bahwa kehidupan sudah

rapuh dan mendekati keruntuhan

siapa yang disalahkan dalam

peristiwa ini?

Apakah alam sudah enggan bersahabat

Dengan kita ?

Ataukah ini kesalahan manusia

Ataukah ini teguran ataukah peringatan

Dari Tuhan yang esa

Bahwa dimuka bumi ini penuh

Lumut noda dan dosa

Tanjung, 5 Januari 2006

H.Jauhar Effendi ( H.Indi )

Haji Indi , itulah panggilan akrabnya, dari Drs H Jauhari Effendi, MM. Pria dengan suara yang lantang setiap baca puisi ini adalah kesehariannya sebagai Kepala SMAN 3 Tanjung Tabalong. Dilahirkan di Desa Duyun Kecamatan Haruai tepatnya tanggal 6 Oktober 1960 hari kamis siang sekitar pukul 10.00, memiliki hobby baca dan tulis puisi bahkan cerpen yang kesemuanya terbukukan dalam berbagai antologi, juga ada pada buku Jembatan, Duri-duri Tataba, dan Semata Wayang Semata Sayang, dan buku antologi terakhir yang dibukukan oleh Jejaring satra Pahuluan berjudul Ronce Bunga- Bunga Mekar.

Kini ia menjadi kepala sekolah SMAN 3 Tanjung dan kini berbagai even seni ia ikuti. Hobbynya sastra dan musik tradisi. Ia memiliki putra tiga orang yang kini duduk di bangku kuliah anak puteri bernama Amelia Harianti yang pertama dan anak kedua puteri pula bernama Arsyimelati di SMAN I Tanjung, yang terakhir putranya bernama Alwildanielmalikurrahman sekolah di SDN Tanjung 8. Isterinya Hj. Rakhmawati,SPd. yang setia mendampinginya adalah seorang guru SLTP mengajar di SMPN 2 Tanjung.

Dalam kegiatan sehari-hari ia adalah orang yang kreatif. Pak Haji ini aktif di kegiatan pramuka dan kepemudaan. Dalam kumpulan puisi ini ia tidak ketinggalan.

BERSAKSILAH



Ku rasa ringan-ringan saja

Padahal berat juga

Kutimbang gunung yang runtuh ah berat juga

Kubendung air bah yang menggulung menderu berat juga

Ah Ku ringan –ringan saja

Longsor menimbun dusun kampung

Ah ringan-ringan saja

Ombak menyapu nyawa tidak ada penyelesalan

Yang menyesal hanyalah hidup yang tidak hidup

Ah sudahlah sobat

Tiada rupanya juga tobat

Sampai dekap erat

Bersama kepingan harapan yang kian membabat

Gumpalan air dilangit yang tumpah

Ruah membuat pohon dan rumah rebah

Bersama anak dan ibunya mendekap erat

Berucap lirih bahagia “La ila ha ilalla……hh”

Kata apa yang bisa dilontarkan untuk menyatakan kesedihan,

Ucap apa yang dapat di ungkapkan untuk menyatakan kepiluan

Selain kata sedih itu sendiri

Selain kata pedih dan pilu itu sendiri

Dan menjadi bagian dari sedih dan pilu itu sendriri

Tanjung,7 Januari 2006.

ANTARA TANJUNG DAN KOTA BAMEGA

Menafikan perbedaan

Menyatukan rasa

Dalam bahasa

Kuputar bola bundar

Kemudian menggulung aspal biru dengan pucuk-pucuk pohon dikiri-kanan seraya perlahan jemari ini memelintir

Bayu lalu melontarkannya ke tengah laut menggiring

Gelombang samudera ke sisi gunung

Bersama kita menggores pantai

Menghempaskan lelah sepanjang nusa ini

Tidakan jera akan

Dera yang menimpa dan menghimpit

Berani hidup ditengah-tengah padang kehidupan

Adalah kemenangan dan

Takut hidup ditengah-tengah kematian

Adalah ketakutan yang sebenarnya

Diantara tanjung dan kota bamega

Adakah akan tumbuh terus kembang

Senyum terbersit

Di setiap relung karang langkahmu.

Tanjung, 7 Januari 2006.